Monday, April 14, 2014

Manusia lain.


Aku pernah menemuimu di perempat malam, juga di senja di sela larian anak bermain layang-layang. Semua hal yang kau minta, sebisanya aku perjuangkan. Segala hal yang ku lakukan tak lain untuk membuatmu menjadi tenang. Karena, jauh di dalam hati, aku tak ingin cinta yang tumbuh ini tiba-tiba mati. Karena kesepian akan datang memeluki. Dan aku tak mau semua itu terjadi, kepadamu, kepadaku, kepada kita.

Apa yang kurasa, selalu ku jaga. Agar cinta selalu bisa menghangatkan dada. Agar cinta tak pernah membiarkan air mata mendekat. Dan semua hal yang membuatmu tertawa selalu kuiringi dalam doa. Selalu ku jalankan dalam langkah-langkah lelah, meski tertatih, meski letih. Untuk keutuhan kita aku tak pernah menginginkan duka.

Hingga pada suatu hari, ada manusia lain yang kau sebut bagian dari hati. Dia yang diam-diam mencuri hatimu terdalam. Bagaimana bisa? Aku tak pernah lengah menjaga apa yang kita punya. Aku yang selalu menyerahkan segala asa hanya kepada kamu. Hanya ingin hidup denganmu. Tapi kenapa, nyatanya dia yang kau sebut cinta. Dan menusukan sebait kata bernama luka di sudut dada. Begitu dalam. Membuat lebam.

Harusnya aku tak sedih. Karena apa gunanya mempertahankan seseorang yang jelas-jelas tidak pantas dipertahankan. Namun, selain mendatangkan rindu dan bahagia, cinta juga bisa mendatangkan pedih yang tak terkira. Kau sukses memberikan itu kepadaku. Kesakitan ini yang akhirnya membuatku harus belajar berhenti mencintaimu. Harus berhenti merapal doa untuk hidup denganmu. Harus melupakan kenangan bersama anak-anak bermain layang-layang senja itu.

“Kadang, apa yang terlalu kau percaya tak jarang mendatangkan luka yang pedih tak terkira. Seperti dia yang begitu kucinta, dengan sengaja menjadikan manusia lain menjadi bahagianya. Ternyata cinta tak pernah cukup bagi manusia yang tak serius pada hati. Terima kasih pernah menemani, –juga pernah melukai.” 


 
  14.04.2014

--boy candra

Friday, April 11, 2014

Aku pernah.



Harusnya aku tak menaruh apa-apa di matamu. Karena kini begitu sakit rasanya saat menatap kembali. Ada rindu yang dari dulu belum sempat kusudahi, tapi kau segera membawanya pergi. Juga hati yang kau rebut paksa untuk menyudahi janji. Sebelum kita benar-benar menepati.

Harusnya aku tak jatuhkan rasa kepada bibirmu. Karena kini begitu pilu mendengarkan potongan kalimat selamat tinggal untukku. Dengan mudahnya kau lumatkan luka di dada. Tak ada lagi manis manja kata rindu. Yang kau katakan segeralah lupakan aku. Apa kau tak pernah berpikir, bibir manis itu pernah membuatku merasa semuanya tak akan pernah berakhir. Tapi nyatanya kini perpisahan  kau sebut takdir.

Aku tak bermaksud menyalahkan kau yang mengingkari janji. Juga tak mau mengatakan semua luka adalah ulahmu. Hanya saja, setumpuk perih masih saja tersisa. Hingga saat aku tak bisa lagi menemuimu, pedihnya belum juga mereda.

Namun pada akhirnya aku pun harus mengerti. Mencintaimu adalah keputusan yang tak perlu ku sesali. Bagaimana pun aku pernah merasa hangat pelukmu. Pernah mengecup lembut bibirmu. Juga lelaki yang menenangkan sedu sedanmu. Hanya saja, mungkin alam memang tak pernah sepakat untuk kita terus bersama. Biarlah luka ini tetap ku bawa, entah sampai di ujung jalan mana. Entah sampai malam keberapa. Jika kau bahagia, harusnya aku juga bisa bahagia.




-- boy candra

Thursday, April 3, 2014

Patah Hati




Entah kenapa saya selalu menjadi orang yang dicari setiap teman perempuan saya patah hati. Bukan untuk dijadikan kekasih. Tapi hanya sekedar teman berbagi sedih. Seperti hari ini, saat hujan begini saya duduk di teras kantor organisasi kampus saya. Tak ada yang ingin saya nikmati selain menatap rintih-rintih hujan yang turun.
“Kamu sedang sibuk?”
“Iya. Sibuk menatap tetesan hujan yang turun.”
Aku tahu betul, dia tak akan peduli aku sibuk atau tidak, ketika ia hendak bercerita ia akan melakukan itu. Bertanya hanyalah basa-basi saja.
“aku..”
“kamu patah hati, lagi. “
Dia mengangguk. Aku bisa menebak, karena dia tak akan datang saat aku sibuk sendirian, kalau tidak sedang patah hati. Dia paham betul, aku tidak suka diganggu kalau sedang sendiri. Apalagi saat sedang menulis, tapi saat patah hati dia tak akan peduli apa yang aku lakukan. Ya, begitulah orang yang sedang patah hati, yang ia pikirkan hanya bagaimana hatinya bisa kembali pulih.
“ternyata, dia tak seperti yang aku bayangkan. Aku pikir masih ada lelaki yang bisa mencintaiku dengan tulus.” Ia terlihat menghela napasnya. “ternyata lelaki sama saja,”
Hujan semakin deras. Kali ini aku tak menanggapi perkataannya. Aku tak mungkin mengiyakan kalau semua lelaki itu sama saja. Seperti apa yang ia katakan kepadaku. Tapi aku juga tak mungkin membantah apa yang ia katakan, karena perempuan yang patah hati hanya butuh satu hal; didengarkan!
“kenapa kamu diam saja?”
Dia seolah membaca pikiranku. Kali ini, untuk beberapa detik mataku dan matanya bertatapan. Tapi hujan tak berhenti seperti dikebanyakan drama korea yang pernah ku tonton. Mungkin karena kami bukan pasangan kekasih. Hujan mungkin berhenti saat dua orang saling jatuh cinta bertatapan seperti di drama korea.
“teruslah bercerita, aku masih mendengarkanmu.”
“aku harus bagaimana? Apa aku harus berhenti saja mencintai lelaki,”
“maksud kamu?” mataku melotot.
“nggak gitu juga. Emang kamu pikir aku akan jadi lesbian? Ya enggaklah! Hih!” seolah bisa membaca pikiranku.
Syukurlah. Ucapku dalam hati. Aku hanya khawatir kalau dia sempat menyimpang hanya kerena patah hati.  Biar bagaimana pun, ia adalah teman perempuanku yang paling sering curhat tentang hatinya yang patah kepadaku. Aku kenal dengannya sejak dua tahun lalu. Kami sama-sama menjadi anggota muda di organisasi kampus yang sama. Dan sejak dua tahun terakhir, sudah enam kali dia bercerita tentang lelaki yang menyakitinya. Entah karena aku penulis, atau karena aku masih belum punya pacar, banyak perempuan yang memercayakan membagi kisahnya kepadaku. Termasuk perempuan yang satu ini. Aku tak ingin menyebutkan namanya kepada kalian. Karena aku tak ingin tidak dipercaya lagi untuk menjadi teman cerita mereka.
Selama ini mereka mau bercerita kepadaku. Karena aku bisa menjaga rahasia mereka.
Tapi ada yang berbeda dari dia hari ini. Tak seperti biasanya, saat patah hati ia selalu memilih tempat khusus untuk bercerita kepadaku. Tapi tumben sekali ia berani bercerita di tempat umum seperti ini.
“Aku sudah capek disakiti.” Dia ikut menatap air hujan yang jatuh dari atap.
“kamu kenapa masih belum punya pacar sampai saat ini?”
Pertanyaan itu seolah menusukku, menyadarkan kalau dua tahun sudah aku memang tak pernah menggandeng seorang perempuan pun yang kukenalkan kepada anak-anak organisasi kampusku. Termasuk kepada dia.
“aku masih pengen fokus sama kuliah.”
Aku tahu itu jawaban terbasi yang pernah ada di dunia.
Dia hanya tertawa, tak memperpanjang perihal itu. Sepertinya dia paham, kesendirianku adalah hal yang memang tak penting untuk dibahas panjang lebar.
“Lalu apa rencanamu?”
“aku juga ingin seperti kamu. Pengen fokus kuliah saja.”
Untuk pertama kalinya aku merasa sangat ringan menanggapi curhat patah hatinya. Aku masih ingat beberapa kali ia bercerita, aku harus menyiapkan tisu, harus berusaha sekuat mungkin agar dia juga bisa ikut tenang. Tapi kali ini dia berbeda seratusdelapanpuluh derjat.
Entah apa yang ada di benaknya, tapi setidaknya itu menunjukan hal yang lebih baik dari sebelumnya. Jika sebelumnya dia selalu memintaku untuk mencarikan seorang lelaki untuk membuat hatinya sembuh, kali ini ia tak meminta hal itu.
“Tapi kenapa kamu jadi seperti ini?”
Sekarang aku yang mulai heran.
“Candra. Ada kalanya kita harus berhenti membuat orang lain bahagia dengan cara mencintainya. Tapi kita lupa mencintai diri sendiri. Selama ini, aku mencintai banyak lelaki, tapi aku tak pernah benar-benar mencintai diriku sendiri. Aku mencintai mereka agar hatiku bisa kembali pulih. Nyatanya, aku salah. Cinta sebenarnya tak begitu.”
Matanya terlihat tulus menatapku. Aku tahu dia sedang jujur.
“Aku pengen seperti kamu. Dua tahun tanpa kekasih, kamu tetap saja bahagia. Mungkin saatnya aku menyadari, tak selamanya kesendirian itu menyakitkan. Terimakasih ya, sudah memberiku banyak pelajaran tentang cinta. Terimakasih telah menjadi teman yang selalu menemaniku saat patah hati.” Dia menepuk bahuku.
Hujan terdengar semakin sendu. Untuk pertama kalinya, aku merasa gagal menjadi tempat berceritanya.
Dua tahun sudah kupendam rasa untuknya. Dua tahun sudah ku putuskan untuk mendengarkan ia bercerita tentang patah hatinya. Namun hari ini ia memutuskan untuk berhenti mengejar cinta. Dia sudah lepas dari ketakutannya akan kesendirian, sedangkan aku tak pernah lepas dari ketakukan untuk menyatakan perasaan kepadanya. 

***

--boy candra