Aku tak akan pernah bisa
sekuat ini tanpa kau mengajarkan aku untuk tetap bertahan, bahkan saat aku
masih berbentuk daging mentah. Kau
selalu memujakan doa-doa agar aku kuat. Agar aku tetap bisa melalui masa-masa
dalam rahimmu. Setiap detik, menit, berganti kau selalu hati-hati menjaga aku
agar bisa lahir ke bumi tanpa satu hal pun yang kurang. Kau jaga hatimu, kau
jaga tangismu, kau jaga aku agar semuanya baik-baik saja. Kau selalu membisikan
kata-kata sayangmu kepadaku. Bahasa yang mungkin hanya kita yang mengerti waktu
itu. Kasih sayang yang tak pernah henti kau nyanyikan sepanjang aku masih
menyatu di tubuhmu.
Kau bahkan tak peduli saat
tubuhmu terlihat buncit dan gendut. Bagimu, kesehatanku dalam perutmu adalah
hal yang tak bisa kau urutkan dengan apa pun. Aku adalah hal yang selalu kau
jadikan urutan pertama. Semakin hari aku semakin tumbuh. Karena kasih sayangmu
yang selalu utuh. Dari sebongkah daging, aku mulai tumbuh menjadi janin yang nakal.
Menendang dan bergerak dalam perutmu. Tapi kau tetap saja tersenyum, menjaga
aku agar tetap kuat. Agar aku bisa bertahan dan hadir ke bumi.
Pada harinya tiba, kau
masih bisa tersenyum. Meski harus menahan sakit untuk memisahkan aku dari dalam
rahimmu. Karena sudah waktunya aku hadir ke bumi. Kau menahan perihnya. Kau
menahan pedihnya. Dan sekali lagi, masih bisa mendoakan aku agar aku kuat untuk
bertahan. Tanpa kau pedulikan kau sedang mempertaruhkaan nyawamu. Kau tak
peduli apa yang akan terjadi pada dirimu, yang kau inginkan, aku hadir dengan
tangisku yang selalu kau doa-doakan.
Tapi aku bukan anak yang
baik untukmu. Aku mulai menyusahkanmu sejak detik pertama lahir ke bumi. Dengan
tangis yang membuat repot. Tak lama kemudian, kau akan disibukkan dengan
mengurusi aku yang semakin merepotkanmu. Memandikanku. Memberiku makan.
Menyusui. Dan begadang untuk menjagaku. Agar aku bisa tidur pulas. Agar aku tak
digigit nyamuk. Kau melakukannya dengan sepenuh hati. Tanpa pernah berpikir apa
aku akan membalas semua itu kelak.
Aku mulai tumbuh dan terus
tumbuh. Cintamu yang utuh membuatku bisa menjadi anak yang memiliki segalanya.
Aku bisa berjalan, berlari, bahkan tak jarang aku mulai telat pulang ke rumah.
Aku keasyikan bermain dengan dunia yang ku dapat kemudian. Aku kadang
melupakanmu, dunia yang menemaniku bahkan sebelum aku menemukan dunia ini.
Saat remaja, aku jatuh
cinta pada perempuan lain. Perempuan yang akhirnya membuat hatiku berantakan. Perempuan
yang ternyata tak pernah menguatkan. Dan bodohnya aku malah membiarkan air mata
lelaki yang sedari dulu kau ajarkan tegar untuk terbuang sia-sia.
Bu, aku rindu pelukan
perempuan sepertimu. Pelukan yang selalu menghangatkan. Pelukan tanpa alasan.
Pelukan yang membuatku mengerti bahwa aku lelaki yang dicintai. Aku merindukan
semua hal yang selalu kau hadirkan tanpa bayaran. Kasih yang begitu putih.
Sayang yang bisa membuatku melayang. Dan cinta yang nyata.
Kau perempuan yang memungut
sedihku karena dicampakkan. Kau perempuan yang menopangku untuk kembali berdiri
karena dikhianati. Kau perempuan yang selalu mengajarkan aku tersenyum, saat
kenyataan hatiku tak lagi baik untuk menerima kenyataan. Kau selalu mengajarkan
aku untuk menjadi yang terbaik, meski yang kupersembahkan padamu tak selalu
yang terbaik.
Tulisan ini mungkin tak
berarti apa-apa. Cintamu terlalu panjang untuk kutuliskan hanya dengan beberapa
paragraf di sini. Aku menuliskan ini, agar aku selalu ingat. Aku memilikimu
yang kadang tanpa sengaja terlupakan. Terlalu banyak bahagia darimu, yang
kubalas dengan kecewa.
Bu, aku mencintaimu lebih
panjang dari tulisan ini. Aku ingin menjadi anak yang kelak bisa membuat bangga
melahirkanku. Menjadi anak yang kuat seperti doa yang selalu kau pintakan. Terimakasih
atas segalanya, bu, atas cinta yang tak pernah ada taranya.
***
Selamat hari ibu, ibu-ibu hebat di balik air mata. Juga di setiap derai tawa. Tanpamu, mungkin dunia selalu luka.
No comments:
Post a Comment