Aku dan dia hanyalah
dua orang yang saling diam. Meski kami
satu organisasi di kampus. Namun, sungguh, saat bersamanya, aku sama sekali tidak berani
menatap matanya. Jangankan menatap matanya, mengajaknya bicara saja, rasanya
aku harus mengumpulkan keberanian. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kaku. Aku
menjadi orang yang tidak tahu harus bicara apa kepadanya. Anehnya, saat beberapa hari tidak bertemu. Ada sesuatu di
dadaku. Aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya.
Diam-diam aku sering
menunggu dia di sekretariat organisasi kami. Tidak akan ada yang curiga memang.
Karena aku memang setiap hari kesana. Dia biasanya juga sering datang ke tempat
yang sama. Namun tidak sesering aku datang, memang. Dia memiliki kegiatan lain di
luar kampus. Saat-saat seperti ini, aku menunggu dia yang belum jelas kedatanganya.
Dan kadang malah tidak datang sama sekali. Karena menjalani kegiatan yang lain.
Namun entah kenapa aku tetap saja menunggu. Diam-diam aku selalu berharap dia
datang setiap hari.
Hari berlalu,
berminggu, berbulan-bulan sudah aku melakukan hal yang sama. Menunggu dia
datang. Saat dia datang. Aku merasa senang. Hampir tidak pernah ada percakapan
serius di antara kami. Dia sibuk bicara dengan teman-temannya yang lain. Sedangkan
aku sibuk menikmati semua yang berkembang di pikiranku. Sibuk menenangkan
pertanyaan-pertanyaan yang semakin hari semakin kuat. Sampai kapan aku akan
menjadi seperti ini? Orang yang hanya mampu mengagumi diam-diam. Tanpa pernah
sanggup mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengatakan sesuatu.
Hingga suatu sore,
dengan segenap usaha memusatkan pikiran. Menenangkan hati. Aku mengumpulkan
keberanian untuk menyapanya. Dan kau tahu apa yang terjadi? Ya Tuhan, dia hanya
tersenyum. Lalu berkata beberapa patah kata. Sungguh itu sudah membuatku merasa
bahagia. Meski setelah itu, aku segera pergi meninggalkannya. Aku takut
terlihat semakin kaku. Aku takut tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.
Akhirnya aku pergi. Kejadian itu berlangsung terus menerus. Lama sekali.
Beruntung, waktu bisa
sedikit menenangkan hati. Kini aku dan dia tidak hanya sekedar diam saat
bertemu. Aku selalu berusaha menampilkan senyuman termanisku. Sesekali aku juga
sudah berani mengajak dia chat di facebook, atau sesekali aku mengirimi pesan
lewat BBM. Seminggu lalu aku memberanikan diri meminta pin BB miliknya. Jika
perasaan ini adalah ukuran ketabahan, aku adalah orang yang paling tabah
mencintainya dalam diam dan dinginnya sikapku selama ini.
Boy Candra | 05/12/2014
Ini hampir seperti yang aku alami, karena gugup sikapku jadi dingin demi menutupi perasaan sendiri. Padahal ini tahun terakhirku di kampus, tapi ga pernah ada kemajuan..
ReplyDeleteHampir sama dengan yg aku alami.. Smoga sja saya dpat mengumpulkan kebranian untuk mengajak dia ngobrol..
ReplyDeleteHampir sama dengan yg aku alami.. Smoga sja saya dpat mengumpulkan kebranian untuk mengajak dia ngobrol..
ReplyDelete