Kemarin. Saat matahari ingin beristirahat.
Aku menemui dia. Perempuan yang dulu pernah menjadi kami. Sekarang hanya aku
dan dia. Tanpa ada kata kami seperti
dulu lagi. Dia memintaku datang menemuinya. Di pantai Purus. Pukul enam kurang
tiga belas menit. Katanya, dia butuh teman bicara.
Tadinya aku sempat ingin menolak. Tapi dari
caranya berbicara di telepon. Aku tidak sanggup mengatakan tidak. Aku mengerti
bagaimana rasanya mendapatkan penolakan saat aku butuh seseorang. Sangat tidak
menyenangkan.
Aku sampai tepat waktu sesuai janji. Pukul lima
lewat tiga puluh menit. Dia mentraktirku gulai Lengkitang. Makanan khas pantai
Purus Padang. Aku dan dia duduk beberapa meter dari jembatan yang baru selesai
setahun lalu. Di bangku plastik yang
menghadap laut. Di depan kami –di pinggir laut- ada perahu kayu milik nelayan berbaris cukup rapi.
Lima belas menit pertama dia masih berusaha asyik.
Membahas pekerjaan. Basa-basi. Ia juga mengajukan pertanyaan: dengan siapa aku sekarang
menjalin hubungan?
Beberapa menit kemudian pembicaraanya mulai
mengarah pada hal yang lebih serius. Katanya, dia baru saja putus. Dengan
kekasihnya setelah aku. Dulu kami putus baik-baik. Meski saat itu aku merasa
hatiku tidak lagi baik. Aku masih mencintainya. Sedangkan dia sudah tidak lagi
mencintaiku. Karena itulah kami harus putus. Begitulah katanya.
Sore itu dia menangis, meski suaranya tidak
terdengar. Namun ada air yang mengalir di pipinya. Dia sangat mencintai lelaki
itu. Mungkin sama seperti aku mencintai dia dulu. Atau mungkin lebih. Namun
orang yang dia cintai mengatakan tidak lagi memiliki perasaan yang sama. Lalu
mengakhiri hubungan mereka.
“Bagaimana caramu melupakan aku dulu? Aku
ingin melakukan itu untuk menenangkan hatiku. Untuk membuat hidupku bahagia
lagi.”
Aku tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab
pertanyaan itu. Bagaimana caramu
melupakan aku dulu?
Ah, ternyata aku dan dia sudah selama itu
mengakhiri hubungan kekasih.
Aku hanya diam. Mencoba mencari kalimat yang
tepat. Kalimat paling kuat yang aku punya saat ini.
“Di dunia ini kita akan ditemukan dengan
orang-orang yang membuat kita bahagia. Juga sebaliknya. Namun satu yang pasti,
mereka dikirim kepada kita selalu dengan satu alasan; agar kita belajar.” Aku mencoba
memberi senyuman. Lagi-lagi senyum yang kubuat agar aku terlihat kuat, “Agar
kita belajar berkasih sayang. Agar kita belajar melupakan. Agar kita belajar
membiasakan. Meski kadang, kita tak selalu berhasil pada pelajaran pertama.
Namun, kita bisa mencoba untuk mengulangi pelajaran itu lagi kan?” Aku kembali
menatap perahu nelayan. Sore sudah berganti senja. Lengkitang yang tadi terasa
sedap pun, menjadi hambar. Namun aku belajar untuk tetap menikmatinya.
Boy Candra | 04/10/2014
Ngena di hati bang
ReplyDeletehuahhh :'( :'''') (y)
ReplyDelete