Sebenarnya aku adalah
orang yang suka dengan puisi tanpa disadari. Waktu kecil, aku sama sekali tidak
pernah dibelikan oleh ayahku buku puisi. Tidak pernah dibacakan puisi juga.
Mungkin karena ayahku bukan orang yang suka buku. Dia hanyalah penjual bubuk kopi
keliling. Usaha keluarga kami sekitar lima belas tahun yang lalu. Setiap pekan,
aku selalu menyusul ayah ke pasar –sepulang sekolah. Meminta rp.1000,- untuk
membeli komik Petruk. Kadang ayah memberi uang lebih. Aku bisa membeli lebih
banyak komik petruk. Dulu harganya masih rp.500,- per komik. Sama sekali tidak
ada puisi di dalamnya. Hanya ada cerita lucu. Meski tak jarang malah cerita
tentang kuntilanak.
Pengaruh dari membaca
komik bertahun-tahun. Sejak kelas 4 SD, aku mulai suka menggambar. Hampir semua
buku tulisku, kubikinkan gambar. Tidak komik. Hanya sketsa tidak jelas. Aku
membuat adegan dan percakapan. Dulu, kupikir aku sudah lumayan bagus
menggambar. Tapi kini, kalau ingin menggambar lagi, sepertinya butuh latihan
bertahun-tahun. Sampai tingkat SD, aku sama sekali belum menyukai puisi. Meski
sudah mulai suka lirik lagu Malaysia. Salah satu lirik lagu yang tak terlupakan
adalah lagu Sultan, “cinta di manakah kini? Cinta kini aku sendiri.”
Entahlah, sedari
kecil (kalau dipikir ulang) aku sudah dirasuki aroma kegalauan. Sewaktu melanjutkan
sekolah ke tingkat SMP, sepertinya itulah awalnya aku mulai mengenal puisi. Ya,
aku mulai menulis (sejenis lirik lagu, meski lebih kepada curhat) di buku-buku
pelajaranku. Aku menulis tentang seseorang yang kukenal dari SD. Teman perempuan
yang mulai kusenangi, lebih dari sekedar teman. Namun itu tak berlangsung lama.
Setahun kemudian aku harus pindah sekolah. Ada hal yang memaksaku
meninggalkannya. Kisah kami berakhir tanpa pernah aku akhiri, pun dia akhiri.
Di sekolah baru, aku
mengenal beberapa perempuan baru. Ah, pada masa itu masa paling mudah untukku jatuh
cinta. Berlembar-lembar buku kutulisi puisi. Aku bertemu dengan perempuan baru.
Jatuh cinta kepadanya. Mungkin ini pertama kalinya aku menyatakan perasaan
kepada perempuan dengan tiga buku yang kutulisi puisi. Tentu, dia menerimaku.
Meski akhirnya aku dan dia memilih untuk menjadi teman saja. Setelah berpacaran
beberapa hari, aku paham dia hanya butuh puisi, bukan hati.
Namun hari ini, sejak
dua tahun yang lalu. Aku tidak ditemani oleh perempuan. Ya, ini pilihan. Aku
memilih untuk menikmati kesendirian. Menikmati apa saja yang bisa kulakukan.
Aku ingin mencintai diriku sendiri lebih banyak lagi. Namun entah kenapa,
justru sejak dua tahun belakang, aku menulis begitu banyak puisi. Entahlah,
dulu saat bersamamu, aku sama sekali tidak bisa menuliskan puisi lebih banyak. Namun
sejak hati kau patahkan. Menulis puisi terasa sebagai obat. Meski tak pernah
membuat aku merasa lebih sehat.
Boy Candra |
15/11/2014
Beruntung dong bg udah kenal dia, kan jadi banyak nulis puisi :)
ReplyDeletemanis sekali :)
ReplyDelete