Beberapa
bulan lalu aku bertemu dengan salah satu editor dari penerbit yang menerbitkan buku-bukuku. Kami duduk
berdua menghabiskan petang hari dengan kopi dan berbagi cerita. Entah sebab
apa, kami seperti dua orang yang sudah kenal lama. Begitu akrab. Dan aku bahkan
tidak segan mengatakan apa saja yang sedangku rencanakan. Beberapa di
antaranya, perihal buku baruku yang akan terbit, dan draf buku puisi yang sudah
kusiapkan dari tahun lalu (bagian ini kau tahu persis bagaimana usaha kerasku).
Aku dengan sepenuh hati menceritakan kepadanya, betapa aku ingin sekali menghadiahimu
nanti. Editor itu tersenyum, aku memperlihatkan beberapa puisi yang sudah
kutulis. Dia memintaku segera menyelesaikan draf buku puisi itu.
Aku
bersemangat, seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Menerbitkan buku puisi
adalah salah satu impian besarku. Aku membutuhkan waktu hampir setahun untuk
menulisnya, dan tidak kurang dua bulan untuk menyuntingnya kembali menjadi satu
draf buku puisi utuh. Draf buku puisi yang akhir bulan lalu kukirim ke
editorku. Dan kabar baiknya, editor dan penerbitku tertarik untuk menerbitkan
buku puisi itu. Kau tahu? Satu impian besar bagiku itu mulai terasa semakin
dekat. Dan betapa aku bahagia akan semua itu. Namun aku sedih, kita sekarang
terasa semakin jauh. Meski di hatiku kau tetap saja seseorang yang kucintai
dengan utuh.
Seperti
yang pernah kuceritakan kepadamu. Suatu hari nanti, puisi-puisi akan menjelma
rindu. Akan menjelma rasa kangen akan pelukmu. Akan menjelma keinginan bertemu
dan menghabiskan malam bersamamu. Lalu, seperti biasa, kau akan memintaku
membacakan beberapa puisi untukmu, sebelum kau tertidur di pelukku. Hari itu kita akan mengenang
banyak hal yang terjadi di kota ini. Perihal yang telah kita usahakan sepenuh
jiwa, sebanyak-banyaknya doa. Sepanjang petang kita akan berkeliling kota.
Mengingat hal-hal yang membenam dalam jiwa. Melupakan segala sesuatu yang
sempat diberi nama luka.
Aku
mencintaimu, kekasihku. Perasaan yang tak pernah terhapus. Dalam puisi-puisi
kutenggelamkan diri. Berharap abadi meski beberapa berupa perasaan sedih dan
nyeri. Kelak, jika buku puisi ini lahir. Percayalah, itu hanya sebagian kecil
yang membuktikan cintaku padamu tak pernah berakhir. Barangkali akan memaksa
pulang padaku, atau membuatmu semakin menjauh dari tubuhku. Namun satu yang
pasti, bagaimana pun kau mencoba menjauh pergi, perasaan yang tumbuh di hatimu
bukanlah sesuatu yang bisa kau bunuh mati. Sebab, cintaku padamu akan tumbuh
berkali-kali. Menjelma menjadi udara pagi, menjadi terik tengah hari, atau
petang hari. Seperti mata yang tenang menunggu sesuatu yang seharusnya pulang. Akan
sesak dadamu jika yang datang hanyalah aku sebagai kenang.
Boy
Candra | 16/11/2015
No comments:
Post a Comment