Entah kenapa saya
selalu menjadi orang yang dicari setiap teman perempuan saya patah hati.
Bukan untuk dijadikan kekasih. Tapi hanya sekedar teman berbagi sedih. Seperti
hari ini, saat hujan begini saya duduk di teras kantor organisasi kampus saya.
Tak ada yang ingin saya nikmati selain menatap rintih-rintih hujan yang turun.
“Kamu sedang sibuk?”
“Iya. Sibuk menatap
tetesan hujan yang turun.”
Aku tahu betul, dia
tak akan peduli aku sibuk atau tidak, ketika ia hendak bercerita ia akan
melakukan itu. Bertanya hanyalah basa-basi saja.
“aku..”
“kamu patah hati,
lagi. “
Dia mengangguk. Aku bisa
menebak, karena dia tak akan datang saat aku sibuk sendirian, kalau tidak
sedang patah hati. Dia paham betul, aku tidak suka diganggu kalau sedang
sendiri. Apalagi saat sedang menulis, tapi saat patah hati dia tak akan peduli
apa yang aku lakukan. Ya, begitulah orang yang sedang patah hati, yang ia
pikirkan hanya bagaimana hatinya bisa kembali pulih.
“ternyata, dia tak
seperti yang aku bayangkan. Aku pikir masih ada lelaki yang bisa mencintaiku
dengan tulus.” Ia terlihat menghela napasnya. “ternyata lelaki sama saja,”
Hujan semakin deras. Kali
ini aku tak menanggapi perkataannya. Aku tak mungkin mengiyakan kalau semua
lelaki itu sama saja. Seperti apa yang ia katakan kepadaku. Tapi aku juga tak
mungkin membantah apa yang ia katakan, karena perempuan yang patah hati hanya
butuh satu hal; didengarkan!
“kenapa kamu diam
saja?”
Dia seolah membaca
pikiranku. Kali ini, untuk beberapa detik mataku dan matanya bertatapan. Tapi
hujan tak berhenti seperti dikebanyakan drama korea yang pernah ku tonton.
Mungkin karena kami bukan pasangan kekasih. Hujan mungkin berhenti saat dua
orang saling jatuh cinta bertatapan seperti di drama korea.
“teruslah bercerita,
aku masih mendengarkanmu.”
“aku harus bagaimana?
Apa aku harus berhenti saja mencintai lelaki,”
“maksud kamu?” mataku
melotot.
“nggak gitu juga.
Emang kamu pikir aku akan jadi lesbian? Ya enggaklah! Hih!” seolah bisa membaca
pikiranku.
Syukurlah. Ucapku dalam
hati. Aku hanya khawatir kalau dia sempat menyimpang hanya kerena patah
hati. Biar bagaimana pun, ia adalah
teman perempuanku yang paling sering curhat tentang hatinya yang patah
kepadaku. Aku kenal dengannya sejak dua tahun lalu. Kami sama-sama menjadi
anggota muda di organisasi kampus yang sama. Dan sejak dua tahun terakhir,
sudah enam kali dia bercerita tentang lelaki yang menyakitinya. Entah karena
aku penulis, atau karena aku masih belum punya pacar, banyak perempuan yang
memercayakan membagi kisahnya kepadaku. Termasuk perempuan yang satu ini. Aku
tak ingin menyebutkan namanya kepada kalian. Karena aku tak ingin tidak
dipercaya lagi untuk menjadi teman cerita mereka.
Selama ini mereka mau
bercerita kepadaku. Karena aku bisa menjaga rahasia mereka.
Tapi ada yang berbeda
dari dia hari ini. Tak seperti biasanya, saat patah hati ia selalu memilih
tempat khusus untuk bercerita kepadaku. Tapi tumben sekali ia berani bercerita
di tempat umum seperti ini.
“Aku sudah capek
disakiti.” Dia ikut menatap air hujan yang jatuh dari atap.
“kamu kenapa masih
belum punya pacar sampai saat ini?”
Pertanyaan itu seolah
menusukku, menyadarkan kalau dua tahun sudah aku memang tak pernah menggandeng
seorang perempuan pun yang kukenalkan kepada anak-anak organisasi kampusku. Termasuk
kepada dia.
“aku masih pengen
fokus sama kuliah.”
Aku tahu itu jawaban
terbasi yang pernah ada di dunia.
Dia hanya tertawa,
tak memperpanjang perihal itu. Sepertinya dia paham, kesendirianku adalah hal
yang memang tak penting untuk dibahas panjang lebar.
“Lalu apa rencanamu?”
“aku juga ingin
seperti kamu. Pengen fokus kuliah saja.”
Untuk pertama kalinya
aku merasa sangat ringan menanggapi curhat patah hatinya. Aku masih ingat
beberapa kali ia bercerita, aku harus menyiapkan tisu, harus berusaha sekuat
mungkin agar dia juga bisa ikut tenang. Tapi kali ini dia berbeda
seratusdelapanpuluh derjat.
Entah apa yang ada di
benaknya, tapi setidaknya itu menunjukan hal yang lebih baik dari sebelumnya.
Jika sebelumnya dia selalu memintaku untuk mencarikan seorang lelaki untuk
membuat hatinya sembuh, kali ini ia tak meminta hal itu.
“Tapi kenapa kamu
jadi seperti ini?”
Sekarang aku yang
mulai heran.
“Candra. Ada kalanya
kita harus berhenti membuat orang lain bahagia dengan cara mencintainya. Tapi kita
lupa mencintai diri sendiri. Selama ini, aku mencintai banyak lelaki, tapi aku
tak pernah benar-benar mencintai diriku sendiri. Aku mencintai mereka agar
hatiku bisa kembali pulih. Nyatanya, aku salah. Cinta sebenarnya tak begitu.”
Matanya terlihat
tulus menatapku. Aku tahu dia sedang jujur.
“Aku pengen seperti
kamu. Dua tahun tanpa kekasih, kamu tetap saja bahagia. Mungkin saatnya aku
menyadari, tak selamanya kesendirian itu menyakitkan. Terimakasih ya, sudah
memberiku banyak pelajaran tentang cinta. Terimakasih telah menjadi teman yang
selalu menemaniku saat patah hati.” Dia menepuk bahuku.
Hujan terdengar
semakin sendu. Untuk pertama kalinya, aku merasa gagal menjadi tempat
berceritanya.
Dua tahun sudah
kupendam rasa untuknya. Dua tahun sudah ku putuskan untuk mendengarkan ia
bercerita tentang patah hatinya. Namun hari ini ia memutuskan untuk berhenti
mengejar cinta. Dia sudah lepas dari ketakutannya akan kesendirian, sedangkan
aku tak pernah lepas dari ketakukan untuk menyatakan perasaan kepadanya.
***
***
--boy candra
No comments:
Post a Comment