Saturday, October 25, 2014

Di balik rencana.


Malam ini hujan turun dengan angkuhnya. Sedari pukul lima sore. Padahal kita sudah membuat janji untuk menikmati malam Minggu berdua. Bahkan untuk menentukan kemana kita malam ini, kau dan aku sempat berdebat. Kau ingin ke toko buku.  Sedangkan aku ingin mengajakmu datang ke acara malam puisi (aku sebenarnya telah menyiapkan puisi untuk kubacakan di depan semua orang –untuk kamu). Namun akhirnya, kita sepakat: setelah ke toko buku, barulah kita datang ke acara malam puisi. Katamu, ke toko bukunya hanya sebentar, kau hanya ingin membeli buku baru penulis idolamu.

Kau tahu? Jauh sebelum malam ini, dua minggu yang lalu. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu. Juga, sebenarnya acara malam puisi ini adalah salah satu hal yang aku tunggu. Dan semuanya seperti kebetulan, malam ini kau ulang tahun. Dan aku pikir, sebuah puisi untuk menikmati malam berdua denganmu adalah cara berdoa paling rindu.

Pukul tujuh empat puluh lima malam. Hujan belum juga reda. Malah semakin lebat. Seperti enggan menyediakan waktu untuk merasakan hangatnya malam Minggu. Kita terus berkabar. Berharap hujan segera berhenti. Agar kita bisa keluar rumah, dan bertemu di toko buku, lalu berangkat berdua ke acara malam puisi.

Satu jam kemudian, kau melunak. Katamu, kita tidak usah ke toko buku. Kita segera ke malam puisi saja. Lalu berharap hujan segera reda. Kau terdengar sedikit mengeluh, kau tidak suka hujan saat ingin berpergian seperti ini. Aku hanya bisa mengamini doamu, berharap yang sama. Agar setelah hujan reda kita bisa segera bertemu.

Dua jam kemudian hujan tidak juga berhenti. Semua rencana yang telah kita susun sedemikian rupa batal begitu saja. Padahal kita sempat berdebat menentukan kemana kita akan pergi. Sekarang tidak ada toko buku dan malam puisi. Tidak juga ada pelukan saat malam ulang tahunmu. Namun kita tetap bisa bersama. Berdua di balik ponsel, di rumah masing-masing. Berharap yang sama. Meski kita tidak berada pada ruang yang sama, kita selalu bisa menikmati cinta. Walau tidak sesuai rencana.

Memang benar, terkadang apa yang kita rencanakan sebaik mungkinpun belum tentu bisa terlaksana dengan baik. Namun di balik semua yang gagal ada hal manis yang tertinggal. Kita selalu kemana-mana berdua, menikmati apa saja berdua. Bahkan setiap ulang tahun kita selalu merayakannya berdua. Namun malam ini Tuhan berkehendak lain, Tuhan hanya ingin kita menikmati cara yang lain. Menikmati hujan dan belajar memanjatkan doa berdua tanpa perlu kemana-mana.

Boy Candra | 25/10/2014


Friday, October 24, 2014

Menangislah jika rasanya melegakanmu walaupun itu tak berarti lagi.


Suatu hari kita pernah berada pada titik ini:

Kamu yang baru saja patah hati. Sangat merasa tersakiti oleh lelaki yang kamu cintai. Dan tidak ada hal yang ingin kamu inginkan selain tetap bersamanya. Membuat dia kembali mencintaimu. Sedangkan dia sudah memilih perempuan lain sebagai orang yang dia cintai. Bukan hanya sebagai pacar, tapi lelaki yang kau sebut kekasihmu itu telah memilih menikahi perempuan lain. Yang sebenarnya tidak lebih cantik dari dirimu.

Kau menangis sejadi-jadinya, membayangkan banyak hal yang tidak akan bisa kau lewati sendiri. Aku hanya membiarkan kamu yang menangis seperti orang kehilangan separuh hidupnya itu. Meski belum pernah ditinggal menikah oleh orang yang aku cintai, tapi setidaknya aku tahu rasanya. Aku pernah ditinggal mati oleh nenekku. Perempuan yang dari kecil merawatku, semenjak ibu memilih lebih dulu ke surga. Jadi, aku paham rasanya kehilangan.

Setelah kau kehabisan suara, barangkali air matamu juga lelah berproduksi. Kau memilih menyerah. Meski tidak mampu tersenyum. Kau bertanya kepadaku. Bagaimana cara melupakan. Bagaimana cara agar kau hidup dengan bahagia tanpa dia. Namun beberapa saat kemudian air matamu malah keluar lagi. Kau menangis sejadi-jadinya lagi. Padahal aku baru saja ingin mengatakan sesuatu.

Kau harusnya paham. Bahwa menangis tidak pernah mampu mengembalikan sesuatu (kecuali kau anak kecil yang sedang dengan ayahmu, atau ibumu, di toko mainan, atau mainanmu diambil temanmu). Namun jika kau menangis untuk sebuah perasaan, untuk seseorang yang memilih hilang, tangisanmu sungguh tidak akan mengembalikan apapun. Jangankan seseorang yang memilih hilang. Kucing betina kesayanganmu yang memilih mati sebelum memiliki anak pun, tidak akan pernah hidup lagi walau kau menangis seminggu tanpa henti. Apalagi kekasih yang memilih pergi dan memilih melupakanmu.

Hari itu, aku hanya membiarkanmu menangis, kau berhak menangis sejadi-jadinya. Meski kau tahu tangisanmu sudah tak berarti baginya. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan untuk membuat kekasihmu yang menikah itu kembali kepadamu?


Boy Candra | 24/10/2014

Thursday, October 16, 2014

Jangan terlalu lemah.



Suatu hari saat duduk santai di tempat yang biasa aku datangi untuk menulis. Aku didatangi seorang perempuan. Aku menatap ke arahnya, dia masih cantik seperti dulu. Hanya saja ada sedikit yang berbeda dari dirinya, matanya terlihat agak sendu. Ada kesedihan yang tak mampu disamarkan oleh senyumannya yang dipaksakan.

Setelah basa-basi, akhirnya dia lepas kendali juga. “apa yang kau lakukan jika kau seorang perempuan namun kau dibohongi kekasihmu berkali-kali?”

Aku berhenti manatap laptopku. Lalu berusaha tersenyum, “aku tidak ingin menjadi perempuan!” jawabku sekenanya.

“kenapa?”

“karena perempuan bukan untuk dibohongi. Jika pun aku menjadi perempuan, aku tidak akan membiarkan lelaki membohongiku berkali-kali.”

“lalu, jika kenyataannya kau dibohongi apa yang akan kau lakukan?”

“aku akan pergi meninggalkannya,”

Kami terdiam. Dia menatap mataku.

“sama seperti kau meninggalkan aku dulu, padahal dulu aku tidak membohongimu. Kau lebih percaya kepada dia. Dan kini kau dibohonginya berkali-kali. Kau tetap saja bertahan dengannya. Aku tidak mengerti cara berpikirmu.” Aku menggelengkan kepala. Entah kenapa perasaan dulu yang pernah ada tiba-tiba sesak kembali. Timbul seperti dendam. Padahal aku sudah berusaha menganggap dia sebagai teman. Sebagai teman biasa, tidak lebih. 

“aku datang meminta pendapatmu, bukan menjadi orang yang harus kau salahkan,”

“aku tidak menyalahkanmu,” Aku menurunkan nada suara, “aku hanya merasa sedih. Kenapa kau masih saja bertanya apa yang harus kau lakukan kepadaku. Sedangkan kau tahu, dia sudah membohongimu berkali-kali. Harusnya kau tahu apa yang akan kau pilih!”

Kami diam lagi. Lebih lama.

Dia memang seperti itu, terlalu lemah menjadi perempuan. Padahal dia tahu, dia sudah dibohongi dari awal. Namun, aku tidak bisa menyalahkannya. Aku yang mencintainya, juga tak pernah mampu mengalahkan perasaanku sendiri. Aku masih berbohong kalau aku tidak lagi mencintainya.

Ada hal yang tidak dia pahami dari cinta. Dia lupa, dia tidak bisa merubah sikap seseorang, tapi dia bisa memilih hidup yang lebih baik. Dengan tidak membiarkan dirinya tersakiti lagi. Karena memang ada saatnya kita harus melepaskan seseorang, bukan karena tidak mencintainya, namun demi menjaga hati kita sendiri agar tidak terluka lagi oleh sikap yang sama –orang  yang sama.    



Boy Candra | 16/10/2014

Tuesday, October 14, 2014

Kenapa jadi membosankan (?)


Saat jatuh hati kita selalu merasa senang dengan seseorang. Tentu dia yang menjadi tempat kita merasakan perasaan itu. Seperti yang aku rasakan kepadamu. Aku senang bertemu denganmu. Senang saat melihat kamu tertawa. Aku bahkan lupa kalau kita sedang membicarakan hal terkonyol yang kita punya. Rahasia yang kadang tidak mungkin kita ceritakan kepada sembarang orang. Begitu menyenangkan.
Aku merasa nyaman dengan dirimu yang seperti itu. Kamu yang apa adanya. Kamu yang menurutku adalah orang paling tepat untuk aku ajak berdiskusi banyak hal. Kamu juga pasti sepakat denganku, bahwa apalagi yang paling menyenangkan selain orang yang kita ajak bicara seimbang? Tidak ada. Saat melakukan pendekatan kita memang hanya butuh teman bertukar pikiran yang nyaman. Walau tidak bisa sempurna, aku bisa menerima kamu. Mungkin kamu merasakan hal yang sama. Aku yang terkadang juga tidak begitu konek dengan apa yang kamu katakan. Tapi kita tetap mencoba menjadikan semua itu menyenangkan. Bahkan hal yang membuat kita kebingungan kita jadikan hal konyol, lalu tertawa bersama.
Kita saling belajar memahami, saling memberi perhatian. Bagiku kata ‘jadian’ hanya menunggu waktu yang tepat. Sebab bagi beberapa orang tanggal jadian itu penting. Aku hanya menunggu momen yang aku pikir pas. Lalu apa yang membuat nyaman selama ini akan kunyatakan sebagai perasaan sesungguhnya. Walau sebenarnya, tanpa menyatakan kau sudah bisa menerka apa yang ada di hatiku.
Namun belakangan ini kau mulai berubah. Dan menurutku itu bukan perubahan yang membuat aku nyaman. Aku juga tidak mengerti, apakah kenyamanan yang kau berikan selama ini hanyalah kepalsuan? Atau kau sedang berusaha menjadi orang lain? Entahlah. Namun sikapmu sekarang memang tidak membuatku merasa seimbang lagi. Kau sekarang berlebihan. Memberi perhatian berlebihan. Padahal, kita baru saja tahap pendekatan. Kalau begini lebih baik aku mundur saja. Menjauh pelan-pelan. Bukan karena aku jahat. Bukan maksud mempermainkanmu. Apalagi memberi harapan palsu. Namun lebih kepada sikapmu yang terasa asing bagiku. Kau tahu? Aku tidak bisa mencintai orang asing.
Apa selama ini sikap yang kau tunjukan adalah sikap orang lain?


Boy Candra | 14/10/2014

Saturday, October 4, 2014

Belajar menikmati.


Kemarin. Saat matahari ingin beristirahat. Aku menemui dia. Perempuan yang dulu pernah menjadi kami. Sekarang hanya aku dan dia. Tanpa ada kata kami seperti dulu lagi. Dia memintaku datang menemuinya. Di pantai Purus. Pukul enam kurang tiga belas menit. Katanya, dia butuh teman bicara.
Tadinya aku sempat ingin menolak. Tapi dari caranya berbicara di telepon. Aku tidak sanggup mengatakan tidak. Aku mengerti bagaimana rasanya mendapatkan penolakan saat aku butuh seseorang. Sangat tidak menyenangkan.
Aku sampai tepat waktu sesuai janji. Pukul lima lewat tiga puluh menit. Dia mentraktirku gulai Lengkitang. Makanan khas pantai Purus Padang. Aku dan dia duduk beberapa meter dari jembatan yang baru selesai setahun lalu. Di  bangku plastik yang menghadap laut. Di depan kami –di pinggir laut-  ada perahu kayu milik nelayan berbaris cukup rapi.
Lima belas menit pertama dia masih berusaha asyik. Membahas pekerjaan. Basa-basi. Ia juga mengajukan pertanyaan: dengan siapa aku sekarang menjalin hubungan?
Beberapa menit kemudian pembicaraanya mulai mengarah pada hal yang lebih serius. Katanya, dia baru saja putus. Dengan kekasihnya setelah aku. Dulu kami putus baik-baik. Meski saat itu aku merasa hatiku tidak lagi baik. Aku masih mencintainya. Sedangkan dia sudah tidak lagi mencintaiku. Karena itulah kami harus putus. Begitulah katanya.
Sore itu dia menangis, meski suaranya tidak terdengar. Namun ada air yang mengalir di pipinya. Dia sangat mencintai lelaki itu. Mungkin sama seperti aku mencintai dia dulu. Atau mungkin lebih. Namun orang yang dia cintai mengatakan tidak lagi memiliki perasaan yang sama. Lalu mengakhiri hubungan mereka.
“Bagaimana caramu melupakan aku dulu? Aku ingin melakukan itu untuk menenangkan hatiku. Untuk membuat hidupku bahagia lagi.”
Aku tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Bagaimana caramu melupakan aku dulu?
Ah, ternyata aku dan dia sudah selama itu mengakhiri hubungan kekasih.
Aku hanya diam. Mencoba mencari kalimat yang tepat. Kalimat paling kuat yang aku punya saat ini.
“Di dunia ini kita akan ditemukan dengan orang-orang yang membuat kita bahagia. Juga sebaliknya. Namun satu yang pasti, mereka dikirim kepada kita selalu dengan satu alasan; agar kita belajar.” Aku mencoba memberi senyuman. Lagi-lagi senyum yang kubuat agar aku terlihat kuat, “Agar kita belajar berkasih sayang. Agar kita belajar melupakan. Agar kita belajar membiasakan. Meski kadang, kita tak selalu berhasil pada pelajaran pertama. Namun, kita bisa mencoba untuk mengulangi pelajaran itu lagi kan?” Aku kembali menatap perahu nelayan. Sore sudah berganti senja. Lengkitang yang tadi terasa sedap pun, menjadi hambar. Namun aku belajar untuk tetap menikmatinya.


Boy Candra | 04/10/2014