Sunday, November 30, 2014

Siap Tidak Siap Tetap Akan Berakhir.



Segala hal yang dimulai pasti akan berakhir. Itu adalah hal yang wajar. Memang sudah selayaknya apa yang dimulai menemui akhirnya. Hanya saja memang tidak semua orang bisa menerima kenyataan seperti itu. Sebab, banyak yang siap memulai, namun tidak pernah mempersiapkan diri untuk mengakhiri. Apalagi yang mulai dengan perjuangan sepenuh hati. Misalkan, mendapatkan hati seseorang yang diingini. Lalu tiba-tiba saja sesuatu membuatnya harus berakhir. Ya, tentu akan mengangetkan, dan memedihkan. Tidak ada yang benar-benar siap mengakhiri sesuatu yang dia senangi. 

Namun setidaknya, dari setiap hal yang berakhir. Kita selalu bisa belajar. Bahwa apa pun yang ada di dunia ini. Pada hakikatnya tidak pernah benar-benar menjadi milik kita. Bahkan jika kita mau sedikit memikirkan. Orang tua yang melahirkan kita bukanlah milik kita. Pun sebaliknya, jika yang sudah menjadi orang tua. Anak yang lahir dari rahim seorang ibu. Sesungguhnya tidak pernah menjadi hak penuh ibunya. Apalagi yang hanya seorang kekasih, hanya seorang teman, hanya sebuah benda. Hal-hal yang kita temui saat kita sudah menjadi sesuatu saja.

Sebab itu, mau tidak mau, kita harus belajar mencintai sewajarnya. Bukan mencintai sekedarnya. Tapi sewajarnya. Kalau sekedarnya, berarti mencintai seadanya saja. Atau asal-asal cinta. Sedangkan sewajarnya menempatkan dia (orang yang kita cintai) pada posisi yang seharusnya. Kita tetap mencintai dia dengan penuh. Namun memahami dia tidak akan bisa kita miliki selamanya. Karena bisa saja sesorang yang kita cinta. Sesuatu yang kita miliki. Habis masanya bersama kita. Dan mau tidak mau kita harus siap melepaskannya. Pada fase inilah sebenarnya ujian dari mencintai sesungguhnya terjadi. Saat kita berharap bisa bersama selamanya, namun apa daya waktu kita telah habis. Kita harus menyadari tidak ada yang sepenuhnya menjadi milik kita.

Sejujurnya, saya pernah berada pada fase mencintai sepenuhnya. Ingin memiliki seutuhnya, selamanya. Saya lupa, ada hal yang lebih kuat dari saya. Ada Mahaperencana yang lebih hebat dari rencana saya. Dan sungguh menyedihkan, hampir dua minggu saya tidak makan. Patah hati. Kuliah berantakan. Waktu itu sedang menulis skripsi. Orang tua saya marah. Hingga akhirnya, saya belajar satu hal. Di dunia ini memang tidak ada yang bisa kita miliki sepenuh hati, meski kita bisa saja mencintainya sepenuhnya. Dan saat mencintai seseorang, ada hal yang harus kita terima nanti. Melepaskan atau dilepaskan paksa.


Boy Candra | 30/11/2014

Friday, November 28, 2014

Deadline dan Rindu Tak Tersampaikan.



Sebenarnya hari ini aku sedang bingung. Tidak tahu harus mengapdet tulisan apa di blog yang aku cintai ini. Entah karena sudah tiga hari aku kurang tidur (sebab sedang mengerjakan sesuatu yang sudah mendekati deadline). Jadi kepalaku agak kurang bisa berpikir seperti biasa. Ataukah ini karena beberapa hari ini aku memikirkan kamu lebih banyak dari biasanya. Sejujurnya, sejak bertemu kamu dua hari lalu. Aku semakin rindu akan momen sesaat itu. Ya, hanya momen sesaat. Kita bahkan bertemu hanya untuk beberapa menit saja. Waktu itu kau ada urusan mendadak. Dan aku tidak punya kekuatan untuk menahanmu lebih lama.

Jika saja kau tahu. Sejak mengirimi pesan singkat di pesbuk dari 23 jam lalu. Aku sudah lebih dari 10 kali mengecek inbox pesbukku. Apakah kau membalas pesanku. Namun nyatanya sampai tulisan ini aku posting. Sama sekali tidak ada kabar kau sudah membacanya. Sungguh ini lumayan mengaduk-aduk perasaan. Rindu ini terasa semakin dalam saja. Semakin tidak terkendali. Dan aku mau tidak mau harus menikmati sendiri. Untuk urusan menikmati rindu sendiri sebenarnya aku sudah biasa. Ya, aku lelaki yang tidak begitu mudah mengutarakan perasaan kepada orang yang aku sukai dengan lebih secara langsung.
Semalam (disela-sela mengerjakan sesuatu yang mendekati deadline) aku bahkan berpikir ngayal perihal kamu. Aku menuliskan tulisan ini di pesbukku.

“Suatu malam nanti, aku ingin mengajakmu menikmati malam yang larut. Mungkin di tepi laut sambil melihat langit, tiduran. Atau mungkin di puncak gunung –untuk hal ini aku harus memakai baju berlapis, aku takut udara dingin- menikmati suara-suara malam. Juga, aku ingin membacakan sajak-sajak yang aku tulis teruntuk kamu, perihal perasaan-perasaan yang kusembunyikan. Yang mungkin sudah kau tebak dari sikapku. Perasaan yang akhir-akhir ini senang menggodaku. Perasaan yang akhir-akhir ini mengajakku berdiskusi. Mungkin ini saatnya untuk tidak lagi menikmati hidup sendiri.”

Sayangnya kau mungkin juga tidak membaca pesan di pesbukku itu.  Atau kalau kau membacanya, mungkin kau tidak merasa. Dan memang kau tidak salah. Rindu ini bukan kesalahanmu. Mungkin aku yang terlalu pengecut untuk mengutarakannya. Namun sungguh, merindukanmu membuatku uring-uringan. Bahkan sampai saat ingin menyelesaikan tulisan ini. Kepalaku masih saja memikirkan kamu. Dan sedang  berusaha mengumpulkan keberanian. Agar segera bisa mengatakan semua ini kepadamu. Agar perasaan yang tumbuh tidak lelah. Hanya karena aku orang yang mencintai dengan payah. 

Terlepas dari pada itu. Hari ini aku belajar satu hal baru. Ternyata deadline dan rindu tak tersampaikan, membuat kepala uring-uringan.


Boy Candra | 28/11/2014

Wednesday, November 26, 2014

Bukan Tidak Butuh Pasangan.



Bukan tidak butuh pasangan. Hanya saja sedang senang menikmati kesendirian. Siapa sih di dunia ini yang tidak butuh teman berbagi. Hanya saja tidak semudah itu menemukan orang yang diinginkan. Tidak semudah itu mendapatkan seseorang yang sesuai dengan apa yang dicari. Harus diingat punya pasangan bukan sekedar karena  takut dibilang sendirian. Lebih dari itu, punya pasangan adalah menemukan orang yang bisa mengimbangi. Kalau ngobrol terasa lebih nyaman. Kalau punya masalah bisa menjadi teman diskusi. Atau pun bisa melakukan hal-hal sesuai kesepakatan.

Untuk menemukan orang seperti itu kan tidak mudah. Bukan mencari yang sempurna. Karena memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hanya mencari yang bisa saling mengimbangi. Sebab sudah tidak mau lagi memiliki pasangan hanya pasangan berdebat hal tak penting. Pasangan yang saling bersikeras ego. Sudah saatnya memikirkan pasangan dewasa. Memiliki pasangan yang sudah memikirkan masa depan. Bukan hanya menikmati apa yang ada di depan mata.

Karena itu aku tidak mau terburu-buru perihal ini. Sebab apa pun yang dijalani dengan terburu-terburu. Tidak punya pertimbangan yang matang. Seringkali menghasilkan hal yang kurang menyenangkan. Bukan takut patah hati. Hanya saja memang sudah saatnya memikirkan hal yang lebih serius. Kalau pun nanti akan patah hati juga saat punya pasangan yang dicari ditemukan. Mungkin memang sudah takdirnya begitu. Yang terpenting, saat ini aku hanya ingin menikmati kesendirian ini.

Aku masih ingin membahagiakan diri sendiri dulu. Memanjakan diri sendiri dulu. Melakukan hal-hal yang membuat diriku bahagia. Mengerjakan hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas diri. Bukan sibuk bekerja untuk mengalihkan perhatian. Tidak sama sekali. Hanya memang sudah seharusnya saat ingin meningkatkan kualitas diri. Kita memang harus bekerja lebih keras. Sebab, nanti saat punya pasangan. Aku harus menjamin diriku sudah bisa bahagia sendiri. Agar bisa membahagiakan pasanganku. Kalau untuk membahagiakan diri sendiri saja belum bisa. Mana mungkin aku bisa membahagiakan pasanganku.


Boy Candra | 26/11/2014

Friday, November 21, 2014

Seperempat abad.


Sebenarnya saya bukan orang yang merayakan hari ulang tahun. Dari kecil, ayah dan ibu saya tidak mengajarkan merayakan hari ulang tahun. Namun sejak 6 tahun belakangan selalu dirayakan. Ya, yang merayakan adalah teman-teman, (dulu) pacar, dan orang-orang yang saya cintai.  Selalu ada kejutan setiap tahun. Saya tidak tahu harus menyampaikan kalimat apa yang tepat.  Yang bisa mewakilkan rasa terimakasih saya. Yang pasti saya bahagia. Saya senang atas segala yang selalu kalian berikan, meski tidak selalu bisa membalasnya.  

Juga teman-teman di media sosial: twitter, pesbuk, instagram, blog. Sejak lebih dua tahun belakangan. Saya hampir setiap hari menggalaukan teman-teman (meski sebenarnya itu latihan menulis). Meski, ya, terkadang itu sebenarnya saya sendiri yang sedang galau. Teman-teman adalah semangat saya dalam menulis. Orang-orang yang selalu menjadi motivasi saya untuk bisa berkarya lebih baik lagi. Saya tahu, saya masih harus banyak belajar. Dan saya akan belajar banyak hal.  Terimakasih untuk dukungan teman-teman selama ini. Begitu banyak doa dari teman-teman yang saya syukuri, Aamiinkan. Semoga segala doa baik terkabul untuk kita semua.

Bertambah usia, bagi saya adalah peringatan. Karena sebenarnya usia hanyalah pengingat atas apa yang sudah kita capai dan hal yang harus kita gapai. Di usia saya yang sudah seperempat abad ini, masih banyak yang belum saya capai. Namun, saya sadar apa yang sudah dicapai perlu disyukuri. Ya, saya ingin terus berkarya. Ingin terus menulis. Sampai saya tidak sanggup lagi menulis. Bagi saya, menulis adalah cara membuat hidup lebih dari sekedar hidup.

Pada kesempatan ini. Saya juga mau ngasih tahu. Kemarin editor saya ngasih kabar baik. Katanya, naskah novel baru saya (judulnya masih rahasia) sedang diajukan untuk terbit. Kalau lancar, mungkin awal tahun depan sudah bisa kalian miliki. Mohon doanya ya teman-teman. Semoga lancar. Kalau soal asmara, saat ini saya masih sendiri (bukan promo). Ya, saya sedang tidak ingin tergesa-gesa. Saya percaya saat kita sendiri, kita punya waktu mencintai diri sendiri lebih dari biasanya. Perihal berkekasih hanya soal waktu menemukan, atau ditemukan. Saya percaya, cinta selalu punya waktunya sendiri. Meski, saya tetap mencari. Karena tugas manusia yang ingin bahagia adalah mencari, bukan menanti.


Boy Candra | 21/11/2014  

Thursday, November 20, 2014

Obrolan dan hal sederhana denganmu.



Hari ini tidak begitu buruk. Meski aku ketiduran hampir sepanjang hari. Dan hari berjalan kaki beberapa kilo meter. Karena supir angkutan umum di kota ini pada demo mogok kerja. Aku harus pergi ke sebuah toko, membeli sesuatu yang aku butuhkan. Alhasil aku memilih menikmati apa saja yang bisa aku lakukan. Selama ini aku selalu berusaha untuk tidak mengeluh. Dan hari ini aku juga tidak akan mengeluh. Karena saat tertimpa hal yang kurang menyenangkan, jika dibuat mengeluh, hanya akan menambah beban batin. Karena itu, aku berusaha menikmatinya saja.

Entah angin apa yang membawamu. Kau datang beberapa saat ketika aku hendak berangkat. Dan, aku juga tidak mengerti. Mengapa akhirnya kau memilih ikut berjalan kaki. Padahal, aku tahu betul. Begitu banyak perempuan yang tidak akan bersedia berjalan kaki –jarak yang cukup jauh- di kota ini. Apalagi perempuan zaman sekarang. Setidaknya, itulah yang sering terjadi selama ini. Aku melihat pacar teman-temanku. Yang mengeluh dan harus membuat kekasihnya mengalah.

Sepanjang jalan kita membahas banyak hal. Obrolan-obrolan ringan. Tentang lelaki dan perempuan. Tentang anak lelaki dan anak perempuan. Tentang bagaimana mencintai seseorang saat kita sudah tumbuh dewasa. Sampai kita pada pembahasan, kalau mencintai seseorang, kau juga harus belajar meluluhkan hati orang tuanya. Ah, itu bagian terserius yang kita bicarakan hari ini. Di tengah panas matahari yang jatuh di kota ini.  

Hingga akhirnya, kita berhenti di pinggir muara. Dekat jembatan di sebuah mal besar kota ini. Sungguh, ini bukan perjalanan sepasang kekasih yang biasa kau baca di novel romantis. Bukan juga kencan sepasang kekasih yang menghabiskan kopi puluhan ribu di kafe. Kita hanya duduk di pinggir muara. Melepas letih. Menatap nelayan yang tak sempat ikut demo. Melihat orang-orang memancing. Berbicara banyak hal. Sambil terus menunggu senja. Sesekali kau tersenyum dan bersorak. Matamu melihat burung-burung yang terbang menangkap ikan. Hari ini kota kita tidak seperti biasa. Tidak ada angkutan kota yang mau memuat penumpang. Namun kita masih bisa merasakan bahagia. Meski harus berjalan kaki. Meski hanya menatap kapal-kapal nelayan tanpa ada pelangi.


Boy Candra | 20/11/2014

Wednesday, November 19, 2014

Tak perlu tergesa-gesa.



Belakangan aku hanya ingin sendiri. Menikmati hari-hari sendiri. Tanpa siapa pun. Tidak ada alasan yang perlu dijelaskan untuk itu. Aku hanya ingin sendiri. Dan itu cukup untuk menjadi alasan yang kuat. Bukankah semua yang kita jalani berawal dari keinginan? Meski tanpa kita sadari, meski tidak atas keinginan kita sendiri. Semisal, kamu harus kuliah di jurusan A, itu ingin orang tuamu. Walau pun kau tak ingin, kau tetap menjalaninya. Apalagi yang sudah menjadi keinginan sendiri, tentu tidak butuh penjelasan. Sebab, apa yang diinginkan diri sendiri memang tidak semuanya harus dijelaskan kepada orang lain. Jika itu berkaitan dengan hal yang bisa dilakukan sendiri. Seperti aku sedang ingin sendiri. 

Tidak kupungkiri, sejak berakhir luka denganmu. Rasanya untuk jatuh cinta kembali cukup sulit. Perasaan yang ada di dadaku semakin rumit. Padahal aku bukan orang yang menutup hati kepada orang lain. Sama sekali tidak. Aku selalu dengan senang hati mengenali orang baru. Namun entah kenapa sejak hari di mana kau dan aku tidak lagi menjadi kita. Aku merasa lebih baik sendiri saja. Sampai waktu yang tidak pernah bisa kuperkirakan. Aku hanya menikmati apa yang aku jalani. Merasa bahagia, meski bukan dengan cara bahagia kebanyakan orang. Berkekasih.

Namun beberapa hari belakangan. Aku merasa nyaman dengan seseorang. Entahlah, perasaan nyaman seperti apa yang aku rasakan. Kami hanya berbalas pesan singkat. Dan terkadang butuh waktu yang lama untuk menerima balasan darinya. Atau aku kadang juga butuh waktu yang lama untuk membalas pesan singkatnya. Bukan karena apa-apa. Aku memang sedang sibuk dengan pekerjaanku. Menulis buku baru. Hingga saat pesan masuk ke ponsel. Aku sering kali mengabaikan. Maklum saja, selama ini hanya operator selular yang iseng. Atau promo tidak jelas yang mengirimiku pesan singkat. Bukan ngenes, aku memang lebih suka berteleponan kalau sedang ada urusan mendesak.

Entahlah, aku juga tidak mengerti. Beberapa kali menerima pesan singkat darinya. Terasa agak berbeda. Aku seolah menantikan dia membalas pesanku. Meski tetap sibuk dengan pekerjaanku. Tidak ada perasaan menggebu-gebu seperti jatuh cintanya remaja. Semua berjalan dengan semestinya. Aku senang, dia sekarang ada di kepalaku lebih sering dari kesepian tanpamu. Aku senang, jika hari ini aku mulai merasa, aku tidak sedang ingin sendiri. Setidaknya, aku senang membalas pesan singkat darinya. Meski sering membalasnya telat. Ya, tak banyak memang yang bisa kuharapkan, hanya saja, kalau ini jatuh cinta. Jatuhlah dengan semestinya. Tak perlu tergesa-gesa.

Boy Candra | 19/11/2014


Saturday, November 15, 2014

Aku dan puisi.


Sebenarnya aku adalah orang yang suka dengan puisi tanpa disadari. Waktu kecil, aku sama sekali tidak pernah dibelikan oleh ayahku buku puisi. Tidak pernah dibacakan puisi juga. Mungkin karena ayahku bukan orang yang suka buku. Dia hanyalah penjual bubuk kopi keliling. Usaha keluarga kami sekitar lima belas tahun yang lalu. Setiap pekan, aku selalu menyusul ayah ke pasar –sepulang sekolah. Meminta rp.1000,- untuk membeli komik Petruk. Kadang ayah memberi uang lebih. Aku bisa membeli lebih banyak komik petruk. Dulu harganya masih rp.500,- per komik. Sama sekali tidak ada puisi di dalamnya. Hanya ada cerita lucu. Meski tak jarang malah cerita tentang kuntilanak.

Pengaruh dari membaca komik bertahun-tahun. Sejak kelas 4 SD, aku mulai suka menggambar. Hampir semua buku tulisku, kubikinkan gambar. Tidak komik. Hanya sketsa tidak jelas. Aku membuat adegan dan percakapan. Dulu, kupikir aku sudah lumayan bagus menggambar. Tapi kini, kalau ingin menggambar lagi, sepertinya butuh latihan bertahun-tahun. Sampai tingkat SD, aku sama sekali belum menyukai puisi. Meski sudah mulai suka lirik lagu Malaysia. Salah satu lirik lagu yang tak terlupakan adalah lagu Sultan, “cinta di manakah kini? Cinta kini aku sendiri.”

Entahlah, sedari kecil (kalau dipikir ulang) aku sudah dirasuki aroma kegalauan. Sewaktu melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, sepertinya itulah awalnya aku mulai mengenal puisi. Ya, aku mulai menulis (sejenis lirik lagu, meski lebih kepada curhat) di buku-buku pelajaranku. Aku menulis tentang seseorang yang kukenal dari SD. Teman perempuan yang mulai kusenangi, lebih dari sekedar teman. Namun itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian aku harus pindah sekolah. Ada hal yang memaksaku meninggalkannya. Kisah kami berakhir tanpa pernah aku akhiri, pun dia akhiri.

Di sekolah baru, aku mengenal beberapa perempuan baru. Ah, pada masa itu masa paling mudah untukku jatuh cinta. Berlembar-lembar buku kutulisi puisi. Aku bertemu dengan perempuan baru. Jatuh cinta kepadanya. Mungkin ini pertama kalinya aku menyatakan perasaan kepada perempuan dengan tiga buku yang kutulisi puisi. Tentu, dia menerimaku. Meski akhirnya aku dan dia memilih untuk menjadi teman saja. Setelah berpacaran beberapa hari, aku paham dia hanya butuh puisi, bukan hati.

Namun hari ini, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ditemani oleh perempuan. Ya, ini pilihan. Aku memilih untuk menikmati kesendirian. Menikmati apa saja yang bisa kulakukan. Aku ingin mencintai diriku sendiri lebih banyak lagi. Namun entah kenapa, justru sejak dua tahun belakang, aku menulis begitu banyak puisi. Entahlah, dulu saat bersamamu, aku sama sekali tidak bisa menuliskan puisi lebih banyak. Namun sejak hati kau patahkan. Menulis puisi terasa sebagai obat. Meski tak pernah membuat aku merasa lebih sehat.

Boy Candra | 15/11/2014


Tuesday, November 11, 2014

Bukan sepasang kekasih tapi seperti sepasang kekasih.

           
Kita adalah dua orang rumit. Kita memilih menjalani hubungan yang sulit. Namun itu tidak masalah bagiku. Sedangkan kau juga merasa begitu. Kita tidak memiliki status yang jelas. Kita hanya ditautkan rasa nyaman. Aku senang saat kau mampu membuat aku tertawa bahkan sampai harus memegangi perutku. Katamu, kau suka setiap kali aku tersenyum. Ah, kau memang suka menggoda. Dan aku selalu rindu caramu saat kita beberapa hari tidak bertemu. 

Pernah suatu kali, aku bertanya kepadamu perihal apa tujuan kita. Kau menjawab dengan santai. Bahkan seolah tidak ada masalah sama sekali. “Kita jalani saja. Kalau kita bahagia, kenapa harus memikirkan hal yang aneh-aneh?” Aku berusaha menerima teorimu. Aku pikir, benar juga, kalau kita bahagia kenapa harus memikirkan hal yang lain. Ucapan teman-temanku saja yang kadang masih terngiang di telingaku. Tapi ya sudahlah, kalau memang kita saling nyaman. Toh, buat apa mendengarkan orang lain yang hanya bisa komentar? Yang menjalani, kan, kita.  

Aku mengabaikan apa saja pendapat orang lain. Sudahlah. Memang tak ada gunanya terlalu memusingkan padangan orang lain. Hidup akan terlalu rumit jika hanya mendengarkan pilihan orang lain untuk hidup kita. Dan memang benar kata orang-orang. Terkadang kita perlu bodoamat untuk beberapa hal. Agar kita tidak mati muda. Aku memilih menikmati apa saja yang kita rasakan. Menjalani hari-hari denganmu. Semakin hari kita semakin dekat. Semakin terasa lebih dari sekedar teman. Hubungan kita makin dalam. Namun aku tidak punya status yang jelas untuk menyimpulkannya.

Namun semakin hari. Semakin aku mencoba menenangkan pikiranku. Semakin aku mencoba untuk tidak memedulikan ucapan orang-orang. Aku merasa semakin terombang ambing. Perasaanku kian tumbuh. Kita melakukan hal-hal yang dilakukan orang berpacaran pada umumnya. Namun aku tidak berhak menyebutmu pacarku. Aku tidak pantas mengakuimu pacarku kepada orang-orang. Semakin aku mengabaikan pikiran itu. Aku semakin dihantui oleh pertanyaan: sebenarnya hatiku ini apa, kenapa seolah aku yang sengaja mempermainkannya?

Perasaan itu terus tumbuh. Pada akhirnya aku semakin terjebak pada kita yang tak jelas. Pada kita yang hanya teman, tapi melebihi teman. Pada kita yang bukan kekasih, tapi seperti sepasang kekasih. Hingga akhirnya aku harus mengakui. Aku tidak bisa lagi begini. Sebab, setiap dua orang yang sudah nyaman, memang selayaknya memperjelas apa yang sedang mereka jalani. Agar tidak ada lagi sesak atas ketidakjelasan ini.


Boy Candra | 11/11/2014

Wednesday, November 5, 2014

Tak pernah mau belajar.


Kita selalu berharap dicintai. Selalu ingin mendapatkan terbaik. Tidak salah memang. Sebab sewajarnya manusia menyukai yang indah. Menyenangi hal-hal yang membuat senang. Tak ada manusia yang ingin menderita. Apalagi menderita akibat orang yang dia cinta. Pada dasarnya semua orang ingin bahagia. Ingin dibahagiakan. Selalu merasa sempurna saat ada orang lain menjadikannya  istimewa.

Namun terkadang, sebab ingin dicintai. Sebab ingin dibahagiakan. Seringkali membuat seseorang menjadi penuntut. Seringkali membuat seseorang menjadi ingin selalu dinomorsatukan. Ingin selalu menjadi orang yang diperhatikan. Menjadi terlalu banyak meminta, hingga lupa cara mencinta. Terlalu banyak berharap, kerap lupa menjaga sikap. Ingin disegalakan.  

Kamu lupa, yang kamu cintai adalah manusia biasa. Sama seperti kamu. Butuh juga dikasihsayangi, diperhatikan, dipedulikan. Tidak hanya mengasihi, memerhatikan, memedulikan. Sebab, asmara sebenarnya adalah hubungan timbal balik dua hati yang harus saling membakar, agar tetap membara dan tak mati.

Kalau tiba-tiba aku meninggalkanmu tanpa alasan, mungkin aku lelah dengan kamu yang terlalu banyak alasan. Kamu yang selalu ingin menang sendiri. Kamu yang tidak mau berdiskusi dengan dirimu sendiri. Yang lupa cara mencinta, yang tak peduli bahwa hati orang yang mencintaimu kerap tersiksa. Jika pada akhirnya aku menyerah, bukan karena cintaku lemah. Barangkali kau yang tak pernah mau belajar dan enggan mengakui bahwa sikapmu memang salah.

Boy Candra | 05/11/2014


Sunday, November 2, 2014

Duka dua November



Aku tidak pernah tahu kenapa kita dipertemukan. Kenapa harus denganku kau berbagi kisahmu. Semua terjadi begitu saja. Meski sebenarnya aku percaya, tak ada yang benar-benar terjadi begitu saja. Selalu ada yang merencanakan segala hal. Dia yang mahaperencana. Segala hal yang ada di dunia ini selalu atas kuasa dan inginNya. Termasuk kenapa aku dan kamu akhirnya saling mengenal. Dekat. Lalu berbagi banyak hal. Bahkan mungkin rahasia paling rahasia yang kita punya.

Kau ditinggal kekasihmu menikah. Dan aku lelaki yang pernah dibuat begitu patah. Namun satu hal yang selalu kita bicarakan. Kita adalah dua orang yang percaya akan cinta. Kita adalah dua orang yang masih yakin bahwa bahagia itu tumbuh. Meski berkali-kali seseorang ingin membunuhnya. Karena menurutmu bahagia adalah perihal pilihan diri sendiri.

Namun pagi ini kau mengirimi aku pesan singkat. Hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Hal yang paling menakutkan. Mungkin aku tidak pernah takut kehilangan kekasih, meski tetap saja patah hati saat ditinggal pergi. Namun ditinggalkan oleh orang yang melahirkanmu, adalah ditinggalkan paling buruk dalam hidup. Meski mungkin itu cara terbaik Tuhan untuk tetap memeluk.

Aku tahu, selama ini kau adalah seseorang yang begitu kuat. Aku mengenalmu dan percaya, kau memang dilahirkan untuk menjadi kuat. Bahkan melebihi apa yang orang lihat padamu. Namun dalam hal ini,  sekuat apa pun seseorang pada akhirnya akan rapuh dan patah juga. Sebab, tiada duanya cinta selain cinta ibu kepada anaknya.

Pada dasarnya manusia hanya jago terlihat kuat. Dan kadang memang harus terlihat kuat. Meski sebenarnya tidak sekuat itu. Apa pun yang terjadi hari ini, tetaplah menjadi seseorang yang ku kenal tangguh. Meski dalam hatimu sedang begitu rapuh. Mungkin ini sudah saatnya untukmu. Jika kau harus menangis, menangislah seperlunya. Karena air mata sebenarnya tidak lebih kuat dari doa-doa.  

Boy Candra | 02/11/2014