Segala hal yang
dimulai pasti akan berakhir. Itu adalah hal yang wajar. Memang sudah selayaknya
apa yang dimulai menemui akhirnya. Hanya saja memang tidak semua orang bisa menerima
kenyataan seperti itu. Sebab, banyak yang siap memulai, namun tidak pernah
mempersiapkan diri untuk mengakhiri. Apalagi yang mulai dengan perjuangan
sepenuh hati. Misalkan, mendapatkan hati seseorang yang diingini. Lalu
tiba-tiba saja sesuatu membuatnya harus berakhir. Ya, tentu akan mengangetkan,
dan memedihkan. Tidak ada yang benar-benar siap mengakhiri sesuatu yang dia
senangi.
Sebab itu, mau tidak
mau, kita harus belajar mencintai sewajarnya. Bukan mencintai sekedarnya. Tapi
sewajarnya. Kalau sekedarnya, berarti mencintai seadanya saja. Atau asal-asal
cinta. Sedangkan sewajarnya menempatkan dia (orang yang kita cintai) pada
posisi yang seharusnya. Kita tetap mencintai dia dengan penuh. Namun memahami
dia tidak akan bisa kita miliki selamanya. Karena bisa saja sesorang yang kita
cinta. Sesuatu yang kita miliki. Habis masanya bersama kita. Dan mau tidak mau
kita harus siap melepaskannya. Pada fase inilah sebenarnya ujian dari mencintai
sesungguhnya terjadi. Saat kita berharap bisa bersama selamanya, namun apa daya
waktu kita telah habis. Kita harus menyadari tidak ada yang sepenuhnya menjadi
milik kita.
Sejujurnya, saya
pernah berada pada fase mencintai sepenuhnya. Ingin memiliki seutuhnya, selamanya.
Saya lupa, ada hal yang lebih kuat dari saya. Ada Mahaperencana yang lebih
hebat dari rencana saya. Dan sungguh menyedihkan, hampir dua minggu saya tidak
makan. Patah hati. Kuliah berantakan. Waktu itu sedang menulis skripsi. Orang
tua saya marah. Hingga akhirnya, saya belajar satu hal. Di dunia ini memang
tidak ada yang bisa kita miliki sepenuh hati, meski kita bisa saja mencintainya
sepenuhnya. Dan saat mencintai seseorang, ada hal yang harus kita terima nanti.
Melepaskan atau dilepaskan paksa.
Boy Candra | 30/11/2014