Sore itu Aruna berjalan pelan menghampiriku. Menatapku
nanar. Ada sesuatu yang kutangkap dari matanya. Entahlah. Entah apa yang
mengantarkannya padaku. Aku yang selama ini tak mengenal lagi cinta. Aku yang
selama ini sudah tak berjabat tangan dengan sayang. Dan aku yang telah tak tau
lagi bagaimana hangatnya pelukan. Kini Aruna. Dia datang padaku dengan
bayang-bayang itu. Dia sedih, ada pancaran hampa di matanya.
Seketika aku jatuh. Aku jatu cinta. Bukan karena dia
sedang hampa dan aku “memanfaatkannya”. Tapi ini rasa yang belum pernah
kumiliki untuk siapa pun. Getaran yang datang menyusup kedalam hatiku. seketika
saat senja datang menghampiri sudut kota ini. Aruna, dia memanggilku. Bagas.
Aku tersenyum. Sejak itu setiap bait yang ada dalam
lembaran dedaun kering yang ku tulis dengan rintih peluhku, hanya untuk Aruna.
Seseorang yang menghitari setiap lingkaran di kepalaku. Bahagia. Aku melakukannya
dengan rasa itu. Sepenuh hati, tanpa menghiraukan hatiku. Inikah cinta? Sepertinya
lebih dari itu. Aku “menghambakan” diri padanya. Aruna, kamu tau tau? Ini adalah rasa tentangmu. Sakitku tak perlu
lagi ku ingat. Agar sakitmu bisa berjalan pelan
meninggalkan bahagia yang kita mimpikan.
“Jika kamu ingin mencariku. Temui aku di taman belakang
rumah kita.” ucapnya.
Aku hanya diam, mencoba memahami apa yang terjadi. Kami
baru saja bertengkar. Aku manusia, yang kadang tak bisa menahan sesak di
dadaku. Dia masih bercerita tentang seseorang padaku. Seseorang yang katanya
telah menyakitinya. Tapi dia tetap menjaga sakitnya. Ini bukan pertama kalinya.
Namun cinta ini terlanjur mengalir pada muara hatinya. Aku memaafkan, sekali
lagi ku maafkan. Lagi…
Aku takkan pernah berhenti
Akan terus memahami, masih terus berfikir
Bila harus memaksa atau berdarah untukmu
Apapun itu asal kau mencoba menerimaku
Akan terus memahami, masih terus berfikir
Bila harus memaksa atau berdarah untukmu
Apapun itu asal kau mencoba menerimaku
Aku paham sangat. Mencintai adalah belajar untuk menerima
orang yang dicintai. Begitu aku lakukan pada Aruna. Aku mengeringkan lukaku
sendiri, agar dia tetap bisa tersenyum di hadapanku. Agar dia masih ingin
bertahan bersamaku. Aruna, kamu terlalu berarti untukku. Bagaimana aku untukmu?
Tak usah dijawab. Aku bisa merasakannya. Aku selalu berfikir positif untuk
rangkaian kata yang pernah kita satukan.
Perlahan rumah hati itu mulai terlihat indah. Ada taman
yang kita sirami dengan rindu. Katanya.
“Kamu harus menanam benih bunga di sini. Jangan biarkan
bunga itu layu.”
“Demimu aku akan menanam bunga itu, mungkin bukan melati,
ataupun mawar. Nama bunga itu: bahagia. Semoga kamu suka.” Sahutku tersenyum.
Aku bahagia, dia juga. Kita menikmati desiran suara
lumba-lumba di langit sore itu. Entah dari mana datangnya lumba-lumba yang
lebih mirip dengan awan itu. Mungkin dari surga, ucapnya. Aku percaya
lumba-lumba itu datang dari surga. Sekali lagi aku ingin mengatakan. Bagiku kamu
adalah surga yang paling indah.
Hingga malam itu merubah semuanya. Sepotong kue ulang
tahun dari masalalu sanggup membuatnya meninggalkanku. Aku tak tau harus
bagaimana lagi. Aruna, kamu boleh menyakiti dengan cara apapun. Kamu boleh
membuatku luka dengan pisau jenis apapun. Tapi jangan biarkan hatiku keping dengan
retak jejakmu. Aku memohon. Perahan dia menatapku. Pilu. Rasanya begitu pilu.
Aku mencintaimu, bisikku.
Aku tak peduli sesakit apa irisan belati itu. Meski kamu
menyayat hatiku. Tapi sekali lagi “kebodohan” ini tak bisa kuhentikan. Mencintaimu.
“Aku tak sanggup begini Aruna…”
Dia hanya diam, sembari berjalan meninggalkanku. “Aku tak
menemukan cinta itu padamu,” katanya.
Bagaimana bisa?! Lalu apa arti pelukan selama ini? Apa
arti sentuh lembut itu? Semua kata bahagia denganku. Apakah itu bukan kata
hatinya? Sepotong kue masalalu itu membawa separuh hatiku. Separuhnya lagi
remuk di sini. Ingin rasanya aku berteriak!
Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami, dan tak harus berfikir
Hanya perlu mengerti aku bernafas untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku
Dan tak harus memahami, dan tak harus berfikir
Hanya perlu mengerti aku bernafas untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku
Tapi masalalu itu memang tak tau diri. Dia datang dan pergi
sesukanya. Dan kini dia membawa Aruna dan juga hatiku. Aku hanya bisa berdiri
di sini. Menanti senja, mungkin Aruna akan kembali. Atau aku akan melemah
seiring rapuh usia yang menghampiriku. Lalu mati.
Aruna bila kamu membaca ini. Aku masih menyimpan kalimat
yang pernah kau lontarkan padaku. “Jika kamu ingin mencariku.
Temui aku di taman belakang rumah kita.”
Cobalah mengerti semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti, selamanya takkan berhenti.
Selamanya takkan berhenti, selamanya takkan berhenti.