Saturday, October 4, 2014

Belajar menikmati.


Kemarin. Saat matahari ingin beristirahat. Aku menemui dia. Perempuan yang dulu pernah menjadi kami. Sekarang hanya aku dan dia. Tanpa ada kata kami seperti dulu lagi. Dia memintaku datang menemuinya. Di pantai Purus. Pukul enam kurang tiga belas menit. Katanya, dia butuh teman bicara.
Tadinya aku sempat ingin menolak. Tapi dari caranya berbicara di telepon. Aku tidak sanggup mengatakan tidak. Aku mengerti bagaimana rasanya mendapatkan penolakan saat aku butuh seseorang. Sangat tidak menyenangkan.
Aku sampai tepat waktu sesuai janji. Pukul lima lewat tiga puluh menit. Dia mentraktirku gulai Lengkitang. Makanan khas pantai Purus Padang. Aku dan dia duduk beberapa meter dari jembatan yang baru selesai setahun lalu. Di  bangku plastik yang menghadap laut. Di depan kami –di pinggir laut-  ada perahu kayu milik nelayan berbaris cukup rapi.
Lima belas menit pertama dia masih berusaha asyik. Membahas pekerjaan. Basa-basi. Ia juga mengajukan pertanyaan: dengan siapa aku sekarang menjalin hubungan?
Beberapa menit kemudian pembicaraanya mulai mengarah pada hal yang lebih serius. Katanya, dia baru saja putus. Dengan kekasihnya setelah aku. Dulu kami putus baik-baik. Meski saat itu aku merasa hatiku tidak lagi baik. Aku masih mencintainya. Sedangkan dia sudah tidak lagi mencintaiku. Karena itulah kami harus putus. Begitulah katanya.
Sore itu dia menangis, meski suaranya tidak terdengar. Namun ada air yang mengalir di pipinya. Dia sangat mencintai lelaki itu. Mungkin sama seperti aku mencintai dia dulu. Atau mungkin lebih. Namun orang yang dia cintai mengatakan tidak lagi memiliki perasaan yang sama. Lalu mengakhiri hubungan mereka.
“Bagaimana caramu melupakan aku dulu? Aku ingin melakukan itu untuk menenangkan hatiku. Untuk membuat hidupku bahagia lagi.”
Aku tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Bagaimana caramu melupakan aku dulu?
Ah, ternyata aku dan dia sudah selama itu mengakhiri hubungan kekasih.
Aku hanya diam. Mencoba mencari kalimat yang tepat. Kalimat paling kuat yang aku punya saat ini.
“Di dunia ini kita akan ditemukan dengan orang-orang yang membuat kita bahagia. Juga sebaliknya. Namun satu yang pasti, mereka dikirim kepada kita selalu dengan satu alasan; agar kita belajar.” Aku mencoba memberi senyuman. Lagi-lagi senyum yang kubuat agar aku terlihat kuat, “Agar kita belajar berkasih sayang. Agar kita belajar melupakan. Agar kita belajar membiasakan. Meski kadang, kita tak selalu berhasil pada pelajaran pertama. Namun, kita bisa mencoba untuk mengulangi pelajaran itu lagi kan?” Aku kembali menatap perahu nelayan. Sore sudah berganti senja. Lengkitang yang tadi terasa sedap pun, menjadi hambar. Namun aku belajar untuk tetap menikmatinya.


Boy Candra | 04/10/2014