Saturday, November 15, 2014

Aku dan puisi.


Sebenarnya aku adalah orang yang suka dengan puisi tanpa disadari. Waktu kecil, aku sama sekali tidak pernah dibelikan oleh ayahku buku puisi. Tidak pernah dibacakan puisi juga. Mungkin karena ayahku bukan orang yang suka buku. Dia hanyalah penjual bubuk kopi keliling. Usaha keluarga kami sekitar lima belas tahun yang lalu. Setiap pekan, aku selalu menyusul ayah ke pasar –sepulang sekolah. Meminta rp.1000,- untuk membeli komik Petruk. Kadang ayah memberi uang lebih. Aku bisa membeli lebih banyak komik petruk. Dulu harganya masih rp.500,- per komik. Sama sekali tidak ada puisi di dalamnya. Hanya ada cerita lucu. Meski tak jarang malah cerita tentang kuntilanak.

Pengaruh dari membaca komik bertahun-tahun. Sejak kelas 4 SD, aku mulai suka menggambar. Hampir semua buku tulisku, kubikinkan gambar. Tidak komik. Hanya sketsa tidak jelas. Aku membuat adegan dan percakapan. Dulu, kupikir aku sudah lumayan bagus menggambar. Tapi kini, kalau ingin menggambar lagi, sepertinya butuh latihan bertahun-tahun. Sampai tingkat SD, aku sama sekali belum menyukai puisi. Meski sudah mulai suka lirik lagu Malaysia. Salah satu lirik lagu yang tak terlupakan adalah lagu Sultan, “cinta di manakah kini? Cinta kini aku sendiri.”

Entahlah, sedari kecil (kalau dipikir ulang) aku sudah dirasuki aroma kegalauan. Sewaktu melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, sepertinya itulah awalnya aku mulai mengenal puisi. Ya, aku mulai menulis (sejenis lirik lagu, meski lebih kepada curhat) di buku-buku pelajaranku. Aku menulis tentang seseorang yang kukenal dari SD. Teman perempuan yang mulai kusenangi, lebih dari sekedar teman. Namun itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian aku harus pindah sekolah. Ada hal yang memaksaku meninggalkannya. Kisah kami berakhir tanpa pernah aku akhiri, pun dia akhiri.

Di sekolah baru, aku mengenal beberapa perempuan baru. Ah, pada masa itu masa paling mudah untukku jatuh cinta. Berlembar-lembar buku kutulisi puisi. Aku bertemu dengan perempuan baru. Jatuh cinta kepadanya. Mungkin ini pertama kalinya aku menyatakan perasaan kepada perempuan dengan tiga buku yang kutulisi puisi. Tentu, dia menerimaku. Meski akhirnya aku dan dia memilih untuk menjadi teman saja. Setelah berpacaran beberapa hari, aku paham dia hanya butuh puisi, bukan hati.

Namun hari ini, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ditemani oleh perempuan. Ya, ini pilihan. Aku memilih untuk menikmati kesendirian. Menikmati apa saja yang bisa kulakukan. Aku ingin mencintai diriku sendiri lebih banyak lagi. Namun entah kenapa, justru sejak dua tahun belakang, aku menulis begitu banyak puisi. Entahlah, dulu saat bersamamu, aku sama sekali tidak bisa menuliskan puisi lebih banyak. Namun sejak hati kau patahkan. Menulis puisi terasa sebagai obat. Meski tak pernah membuat aku merasa lebih sehat.

Boy Candra | 15/11/2014


2 comments:

Anonymous said...

Beruntung dong bg udah kenal dia, kan jadi banyak nulis puisi :)

Amanda said...

manis sekali :)