Seketika
sepi menusuk jantungku. Di ujung pagi yang tak bisa ku pahami lagi. Sekumpulan gundah
mengerumi hati yang terasa nyeri. Bilakah aku akan mendengar suara lembut yang
menenangkan aku saat rindu. Dulu seperti itu.
Beberapa
detik ku coba menepi, menepiskan bayang yang perlahan mencumbui. Ku helakkan
wajahku. Tapi apa daya, dia lebih cepat melumati kebekuanku. Aku terkapar. Sepi.
Ada lagu
lama yang kembali tergiang di gaung sepinya waktu yang memelukku di sudut
kesendirian. Ada yang telah berubah jauh dari apa yang ada di ruang asaku. Sementara
aku masih tidak mau menyadari. Sementara aku masih bermenung di bilik hati yang
yang terfigurakan bingkai kata kita.
Berjalan
aku terhenti. Berlaripun aku tertahan. Tumpukan rasa yang masih mengikat tanpa
ikatan. Kumpulan rindu yang mengerumi tanpa pemilik. Masih tak mau letih
memutari ruang hatiku.
Ini
sudah pagi keberapa. Entah kapan aku berhenti menunggu asa yang terlanjur ter-asakan. Mungkin nanti, mungkin esok, lusa,
atau kah harusnya kemaren. Aku hanya baru berani dalam kata “mungkin” dan “harusnya”.
Tanpa pernah benar-benar berani melakukannya.
Kataku;
pelan saja, aku bisa. Ini entah pelan sepelan apa lagi aku melakukannya. Nyaris
tak bergerak. Tetap, ini melelahkan. Aku tak semudah apa yang ada di pikiran ku
sebelumnya. Aku tak sekuat apa yang di khayalanku kemaren. Tak seperti itu,
ternyata.
Bahkan
lebih lemah dari apa yang aku bayangkan. Inikah benar yang menghilang aku dari
aku?
Aku
seperti tak mengenal siapa aku lagi, semakin panjang menuliskan bait-bait ini
semakin sesak rasa hati. Bait yang seharusnya memberikan senyum, tapi kini
tidak untukku. Kali ini masih senyum untuk memilukan pagi yang terlanjur sudah
tak sempurna untuk disebut sempurna.
Mungkin
benar. Ini saatnya berhenti. Setidaknya berhenti untuk melanjutkan tulisan ini.
Aku takut nanti kertasnya semakin basah…