Di puluhan hari yang
lalu mataku jatuh pada tubuhmu yang
mungil. Seperti anak yang lucu, ia terus
tumbuh dan berakar. berdahan. rindang. Dan kini dadaku bahkan terlalu rimbun
dengan daun-daunnya. Sesekali daunya gugur saat musim hujan tiba. Berjatuhan di
selatan pelopak mata.
---------
Aku ingin membencimu!
Andai semudah itu,
sayang. Andai melenyapkan perasaan padamu seringan awan yang terbang di antara
sayap-sayap burung. Andai melepasmu seperti menerbangkan kapas bersama
kunang-kunang. Andai aku bisa berandai-andai; ---andai semudah itu, sayang.
Aku ingin pergi dari
hidupmu.
Ini bahkan lebih sulit
dari menyelesaikan benang kusut akibat pertengkaran tetanggaku dengan mantan
suaminya. Ini bahkan lebih sulit dari pada membuat patung dari air kelapa.
---------
Suatu hari saat aku
masih berbentuk janin di rahim ibu, ia bertanya kepada ayah. Kenapa kau
memilihku untuk melahirkan anak-anakmu? Ayah hanya diam. Ia tak punya jawaban
untuk pertanyaan ibu. Beberapa detik kemudian, ayah mengecup kening ibu.
Ayahku memang bukan
seorang guru. Tapi dari dia aku belajar; bahwa mencintaimu memang tak butuh
alasan.
Tak perlu pergi.
Tak perlu membenci.
16november2013---02:43
dinihari.
No comments:
Post a Comment