Monday, November 16, 2015

Sebuah Usaha Menulis Buku Puisi Untukmu





Beberapa bulan lalu aku bertemu dengan salah satu editor dari penerbit  yang menerbitkan buku-bukuku. Kami duduk berdua menghabiskan petang hari dengan kopi dan berbagi cerita. Entah sebab apa, kami seperti dua orang yang sudah kenal lama. Begitu akrab. Dan aku bahkan tidak segan mengatakan apa saja yang sedangku rencanakan. Beberapa di antaranya, perihal buku baruku yang akan terbit, dan draf buku puisi yang sudah kusiapkan dari tahun lalu (bagian ini kau tahu persis bagaimana usaha kerasku). Aku dengan sepenuh hati menceritakan kepadanya, betapa aku ingin sekali menghadiahimu  nanti. Editor itu tersenyum,  aku memperlihatkan beberapa puisi yang sudah kutulis. Dia memintaku segera menyelesaikan draf buku puisi itu. 

Aku bersemangat, seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Menerbitkan buku puisi adalah salah satu impian besarku. Aku membutuhkan waktu hampir setahun untuk menulisnya, dan tidak kurang dua bulan untuk menyuntingnya kembali menjadi satu draf buku puisi utuh. Draf buku puisi yang akhir bulan lalu kukirim ke editorku. Dan kabar baiknya, editor dan penerbitku tertarik untuk menerbitkan buku puisi itu. Kau tahu? Satu impian besar bagiku itu mulai terasa semakin dekat. Dan betapa aku bahagia akan semua itu. Namun aku sedih, kita sekarang terasa semakin jauh. Meski di hatiku kau tetap saja seseorang yang kucintai dengan utuh.

Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Suatu hari nanti, puisi-puisi akan menjelma rindu. Akan menjelma rasa kangen akan pelukmu. Akan menjelma keinginan bertemu dan menghabiskan malam bersamamu. Lalu, seperti biasa, kau akan memintaku membacakan beberapa puisi untukmu, sebelum kau tertidur  di pelukku. Hari itu kita akan mengenang banyak hal yang terjadi di kota ini. Perihal yang telah kita usahakan sepenuh jiwa, sebanyak-banyaknya doa. Sepanjang petang kita akan berkeliling kota. Mengingat hal-hal yang membenam dalam jiwa. Melupakan segala sesuatu yang sempat diberi nama luka.

Aku mencintaimu, kekasihku. Perasaan yang tak pernah terhapus. Dalam puisi-puisi kutenggelamkan diri. Berharap abadi meski beberapa berupa perasaan sedih dan nyeri. Kelak, jika buku puisi ini lahir. Percayalah, itu hanya sebagian kecil yang membuktikan cintaku padamu tak pernah berakhir. Barangkali akan memaksa pulang padaku, atau membuatmu semakin menjauh dari tubuhku. Namun satu yang pasti, bagaimana pun kau mencoba menjauh pergi, perasaan yang tumbuh di hatimu bukanlah sesuatu yang bisa kau bunuh mati. Sebab, cintaku padamu akan tumbuh berkali-kali. Menjelma menjadi udara pagi, menjadi terik tengah hari, atau petang hari. Seperti mata yang tenang menunggu sesuatu yang seharusnya pulang. Akan sesak dadamu jika yang datang hanyalah aku sebagai kenang. 

Boy Candra | 16/11/2015

No comments: